BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Thursday, November 5, 2009

Diary Ibuku (bag. V)

Tanpa kusadari, aku telah tertidur dengan pulas tadi. Mungkin karena kelelahan menangis. Memang betul yang mama katakan dalam diarynya ini, terlalu mengikuti emosi memakan banyak tenaga. Tetapi perasaan yang menumpuk dalam hati ini sudah tidak dapat tertampung lagi. Dan rasanya lega.

Matahari saat ini telah siap untuk beranjak ke negeri seberang yang menantinya. Satu hari catatan mama telah selesai aku baca. Jujur saja, sampai saat ini aku malu dengan segala kelakuanku saat muda dahulu. Aku tidak pernah membayangkan betapa mama bangga dengan semua yang aku lakukan, meski itu membuatnya kuatir. Entah bagaimana mama melakukannya. Selalu optimis dengan masa depanku disaat orang lain meragukannya. Apa yang membuat mama sekuat itu? Apakah pengalaman hidup sebelum berjumpa papa membuat mama menjadi kuat?

Dari dulu aku selalu mencoba mengerti apa yang terjadi dengan sekitarku, apa yang orang lain rasakan ketika mereka melarangku, menasihatiku dan ketika aku memilih untuk cuek dan melakukan segala sesuatunya sesuai dengan yang aku inginkan, tapi tetap aku tidak bisa mengerti. Aku sebenarnya cemburu dengan Jeremiah, kembaranku. Dia lebih peka dengan segala sesuatunya, sehingga orang lebih menyukainya dibandingkan dengan aku. Dan tentu saja ujung-ujungnya dan akhirnya semua orang, kecuali mama dan papa, mulai membanding-bandingkan kami berdua. Hatiku terasa sakit ketika mendengar semua itu. Aku dan Jeremiah berbeda meski kami dilahirkan sebagai kembar. Aku heran kenapa semua orang tidak mau pernah mengerti bahwa kami berdua memang berbeda.

Untung saja aku bukanlah Jewel yang lama. Jewel yang akan bertindak dengan penuh emosi ketika mendengar orang lain menjelek-jelekkan dirinya. Sekarang aku bisa lebih tenang. Kalau dahulu aku suka membanting pintu karena marah ketika orang membandingkan kami berdua, sekarang aku hanya menyerang kembali bahkan cuek dan menganggap lalu apa yang mereka katakan. Dan itu terjadi karena aku sudah bosan dan jenuh menanggapi setiap anggapan dengan penuh emosi. Meski sesak dalam dada yang harus aku tanggung. Tetapi aku tidak mau membuat malu almarhum papa lagi. Karena aku telah berjanji kepadanya untuk menjadi lebih dewasa dalam berpikir dan bertindak.

Terkadang aku kesulitan memenuhi janjiku kepada papa, karena aku masih sering bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu. Aku jadi kasihan sama mereka yang menjadi korban pelampiasan amarahku. Terutama dia. Yang tetap setia mendampingiku kala suka dan duka. Meski ingin menghindarinya, tetapi aku rindu akan suaranya, akan senyumannya, akan kekonyolannya, akan sosoknya yang mengisi hari-hariku dengan kehangatannya. Entah apa yang sedang dilakukan Jonathan saat ini. Aku sangat merindukannya. Apa dia merindukanku juga di sana?

*************************

30 Juli 1999

Aku takut Di,
Aku takut kehilangan Jason, Di. Hari ini aku mendengar kabar yang hampir membuatku tidak mampu untuk berdiri dengan kedua kakiku. Di, Jason akan segera meninggalkanku dan aku tidak tahu apakah aku mampu untuk hidup dan tinggal di dunia ini tanpa kehadirannya. Tuhan, kenapa sampai ini terjadi atas Jason. Aku tidak mampu Di, membayangkan semuanya. Meski masih ada dua tahun tersisa, tapi rasa-rasanya tubuhku kehilangan sumber kekuatannya. Aku merasa begitu lelah dan lemah Di. Melebihi kelelahan yang aku rasakan ketika bekerja.

Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya kepadamu. Aku tidak tahu harus bilang apa ke anak-anakku. Aku tidak ingin mereka kuatir dengan persoalan lain selain dari masalah dalam kuliah mereka. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi Di. Aku... benar-benar takut kehilangan Jason Di.

Segala hasratku, kekuatanku serasa hilang ditiup angin sepoi-sepoi. Aku tahu setiap orang pasti akan menghadapi kematian. Tetapi kenapa harus Jason, dan kenapa dengan penyakit yang seperti itu Di. Aku tidak dapat menyalahkan siapapun bahkan Tuhan sekalipun, karena......

Entahlah Di, aku hanya bisa berdoa dan berharap, Jason dapat menikmati sisa hidupnya dengan bahagia. Aku tidak mau dia merasakan kepedihan yang mendalam dan kesusahan karena harus meninggalkan kami. Aku...

Beberapa kata dalam diary ibuku kali ini terhapus karena titik air. Ini titik air biasa atau titik air mata? Entah kenapa aku dapat merasakan apa yang mama rasakan waktu itu. Kepedihan yang luarbiasa. Dan ini berarti kata-kata yang pudar itu diakibatkan oleh air mata mama.

Jujur saja, seumur hidupku aku jarang melihat mama menangis. Hanya pada saat opa dan oma meninggal, mama menitikkan air mata. Kalau bisa kusimpulkan mama menangis hanya pada saat dia sedih. Aku...entahlah. Apa yang terjadi pada saat kami tidak ada di rumah? Pertanyaan ini mulai muncul di kepalaku. Karena waktu itu tidak ada yang memberitahu kami mengenai apapun. Apa tante Ana tahu apa yang terjadi? Mengingat selama kepergian kami, tante Ana yang selalu bersama-sama mama dan papa. Mungkin lebih baik aku menghubunginya sekarang. Karena aku ragu apakah kematian papa lima tahun yang lalu murni karena ‘sudah waktunya’ untuk meninggal.

*************************

Aku sangat terkejut mendengar apa yang tante Ana ceritakan di telefon beberapa menit yang lalu. Aku tidak percaya, bagaimana mungkin mama dan papa tidak menceritakan hal sepenting ini kepada aku dan Jeremiah.

“Pasti ada alasannya sampai kalian tidak diberitahu selain karena orang tua kalian tidak ingin kalian kuatir. Dan yang tahu alasannya hanyalah almarhum orang tua kalian, yang saat ini tidak dapat menjawab langsung alasan mereka. Mungkin, lebih baik kamu terus membaca buku harian yang diwariskan oleh mama kamu. Siapa tahu mama kamu menuliskan alasannya. Maaf yah Jewel, tante tidak bisa menceritakan banyak kepadamu.”

Itulah yang dikatakan oleh tante Ana sewaktu aku meminta penjelasan mengenai apa yang terjadi. Yang terjadi sembilan tahun yang lalu, menurut tante Ana, papa tiba-tiba jatuh pingsan di kantor tempatnya bekerja. Dan hasil pemeriksaan para dokter adalah kanker otak dan waktu yang tersisa untuk papa hidup saat itu hanya dua tahun. Tapi entah bagaimana papa dapat bertahan hingga lima tahun yang lalu, saat aku dan Jeremiah berhasil menyelesaikan kuliah kami.

Marah, sedih, terharu, menyesal, perasaan itu bercampur aduk dalam hatiku saat ini. Aku masih tidak menyangka dan heran kenapa mama dan papa tega tidak memberitahukan kepada kami apa yang sebenarnya terjadi. Seandainya aku tahu lebih awal, pasti aku akan berhenti dari kuliahku dan kembali ke rumah untuk merawat papa. Tapi ini membuatku kembali berpikir, apakah semua ini sudah diperhitungkan oleh papa dan mama saat itu?

Aku harus menyelesaikan membaca diary mama saat ini. Siapa tahu aku bisa menemukan jawaban, dan mungkin saja dugaan tante Ana benar. Mama menulis alasan dari pertanyaan yang ada di kepalaku sebelum masa berliburku habis. Karena waktu berlalu dengan cepat ditempat ini. Dan tinggal seminggu waktu yang tersisa dari waktu yang ada. Semoga semuanya dapat terpecahkan.

*************************

26 Agustus 2003

Di, tiga tahun sudah semenjak Jason divonis mengidap penyakit kanker otak. Waktu berlalu dengan cepatnya di tempat ini. Sudah sebulan kedua anakku menyelesaikan kuliah mereka dan bekerja menurut keinginan mereka masing-masing. Dan aku senang akhirnya Jeremiah memilih untuk melanjutkan usaha yang sudah kurintis selama kurang lebih enam belas tahun. Meski aku ingin Jewel juga turut terlibat dalam usahaku, tetapi aku tidak bisa melarangnya untuk memilih sesuatu yang dia senangi.

Aku kuatir Di, apakah selama ini aku telah salah mengasuh Jewel. Apakah selama ini yang kuajarkan cukup baginya? Memang harus kuakui, perhatian yang kuberikan kepada anak-anakku tidak sebesar yang kuberikan kepada pekerjaanku. Kalau itu alasan Jewel menghindariku, aku merasa sangat bersalah Di. Aku telah menjadi contoh yang buruk baginya. Entah aku harus berbuat apa untuk memperbaikinya.

Tapi Di, semalam aku bermimpi yang aneh tapi menyedihkan. Aku bermimpi Jason menaiki sebuah kapal pesiar yang indah, yang selalu diimpikannya, dan tidak pernah kembali lagi ke sisiku. Aku takut Di. Aku takut semua mimpiku itu menjadi kenyataan. Ingin rasanya aku bercerita kepada anak-anakku perihal penyakit Jason. Tetapi Jason melarangku.

“Aku tidak ingin menjadi beban kalian,” itu katanya. Membuat hatiku hancur.

Di, aku kembali nanti lagi. Ada sesuatu yang terjadi dengan Jason. Bye...

*************************

11 Mei 2008

Di, sepertinya sebentar lagi kita akan berpisah. Aku sudah mencoba bertahan selama yang aku mampu. Penyakit yang aku derita ini biarlah itu menjadi tanggunganku seorang diri. Oleh karena itu anak-anakku tidak mengetahui kondisi kesehatanku yang sebenarnya. Aku tidak ingin membuat mereka kuatir.

Aku bahagia dengan keadaan anak-anakku saat ini. Jeremiah, saat ini dia adalah seorang ayah dari sepasang anak kembar yang lucu. Aku sudah punya cucu, Di. Tidak terasa aku sudah sedemikian tuanya. Usahaku berkembang dengan pesat di tangan Jeremy dan isterinya, Hannah, wanita cantik yang baik hati. Penyakitku seakan terlupakan dengan kehadiran Jeremy dan keluarga barunya. Sedangkan Jewel, kabar terakhir yang aku dengar dia sudah naik jabatan menjadi manajer di perusahaan periklanan tempat dia bekerja. Aku merindukan Jewel, Di. Aku ingin meminta maaf kepadanya. Hartaku yang berharga.

Tapi Di, hanya Jason yang paling kurindukan. Empat tahun lebih semenjak kepergiannya. Pasti, ya pasti aku akan berjumpa dengannya lagi di surga. Tidak Di. Bukannya aku pesimis dengan kondisi tubuhku. Tapi aku sudah siap jika seandainya Tuhan memanggilku untuk pulang ke sisi-Nya. Oleh karena itu Di, ini perjumpaan terakhir kita. Namun sebelumnya aku ingin meminta bantuan darimu. Aku ingin menulis sesuatu untuk dibaca oleh Jewel.

Anakku Jewel,
Mama tahu selama ini kau cukup terluka dengan segala tindakan mama. Mama tahu perhatian yang mama berikan kepadamu tidaklah mencukupi apa yang kau butuhkan. Karena itu mama ingin meminta maaf kepadamu bila mama tidak sempat mengucapkannya langsung kepadamu. Tapi, mama ingin kamu tahu, mama selalu mencintai dan menyayangimu. Mama selalu bangga dengan keberhasilanmu. Karena kau dan Jeremiah adalah harta mama yang paling berharga.

Maafkan mama Jewel, karena tidak bisa terus mendampingimu sampai kau menikah nanti. Mama tahu bahwa kamu sudah mempunyai pacar di sana, dan hubungan kalian sudah sampai ke tahap yang serius. Mama tahu semua itu dari Jeremy. Mama hanya ingin kau tahu, jika dia adalah orang yang mencintaimu dengan setulus hatinya dan membuatmu tidak dapat hidup tanpa kehadirannya. Maka janganlah ragu-ragu untuk menikahinya. Pasti dialah orang yang dikirim oleh Tuhan untuk mendampingimu selamanya. Mama terus mendoakan kalian tanpa henti. Dan mama yakin Tuhan akan memberikan kebahagian dan kehangatan yang sama yang telah Tuhan berikan kepada mama dan papa.

Yang terakhir Jewel, di dalam laci meja kerja mama, ada sebuah hadiah yang mama telah siapkan untukmu. Mungkin tidak terlalu berharga, tapi sebuah buku harian supaya ceritamu bisa kau tulis dan bisa kau berikan kepada anakmu. Mama harap kau mau menerimanya.

Mama mencintaimu Jewel... Mama mencintai kalian berdua...


*************************

Tanpa terasa air mataku mengalir tanpa terhenti. Kenapa mama tega tidak meminta maaf kepadaku langsung. Aku...aku menyesal. Selama ini aku salah menduga semua tindakan mama. Aku anak yang tidak berbakti. Aku....juga sayang mama.

Ketukan pintu membuatku harus menahan sebentar isak tangisku. Sebuah sosok yang kurindukan sedang berdiri didepanku dengan tatapan yang selalu membuatku luluh jika melihatnya. Seketika juga aku berhamburan memeluknya dengan erat. Air mataku kembali mengucur dengan derasnya. Aku tidak perduli apa yang dia pikirkan. Tapi saat ini aku membutuhkan pundaknya untuk mencurahkan semua yang kurasakan. Kepedihan yang tak terperikan.

“Menangislah sepuasmu, sayangku. Aku akan selalu berada di sisimu.”

*************************

Hampir setahun berlalu semenjak kematian mama. Selama itu banyak hal yang telah berubah dalam kehidupanku juga sifatku sedikit demi sedikit berubah oleh waktu dan cinta. Akhirnya aku bisa memaafkan mama dan diriku sendiri. Hari yang baru telah kujalani. Hatiku juga diperbaharui. Aku adalah Jewel yang baru. Seorang wanita yang penuh kasih sayang dan penuh kebahagiaan. Seorang calon ibu dari anak yang saat ini berada dalam kandunganku. Seorang kekasih, isteri dari orang yang kucintai. Dan saat ini aku akan melanjutkan kisahku yang belum lama ini kumulai dalam buku harian pemberian mama. Buku harian kepunyaanku...

*************************

15 April 2009

Dear Diary,
Hari ini anak dalam perutku gembira ketika mendengar musik yang biasa mama dengar dahulu. Kira-kira dia jadinya kayak siapa ya? Mirip aku atau Jonathan......

p.s. Inilah akhir dari sebuah awal yang baru....

Diary Ibuku (bag. IV)

24 Juli 1985

Halo Di,
Aku senang akhirnya aku dapat menemukanmu kembali. Semenjak aku sibuk mengurus kedua anak kembarku, kamu sengaja aku singkirkan. Aku tidak mau kamu rusak Di. Aku ingin kamu menjadi salah satu peninggalan berharga bagi anak perempuanku.

Aku lupa memberitahukan kepadamu nama kedua anakku. Yang pertama kali lahir, anakku laki-laki, jagoan kami, Jeremiah Edison Chandawinata. Dan yang kedua, anakku perempuan, permata kami, Jewel Elizabeth Chandawinata. Nama mereka berdua seperti nama orang asing ya? Nama mereka dipilih oleh Jason dan orang tuanya. Kami semua bahagia dan baik-baik saja Di. Bahkan hari ini aku dan Jason mau merayakan hari ulangtahun si kembar. Tapi perayaan ini sengaja kami rahasiakan dari mereka berdua, meski aku tahu tidak mudah merahasiakan sesuatu dari Jewel. Dia terlalu pintar untuk dikelabui. Dan kamu tahu Di, mereka adalah anak-anakku yang berharga di dunia ini. HARTA YANG TAK TERNILAI. Aku sangat bahagia dengan kehadiran mereka berdua, meski tidak mudah untuk mengasuh dan mendidik mereka. Tetapi puji Tuhan, kami bisa melewati lima tahun pertama. Satu hal tambahan lagi. Aku sudah BERHENTI BEKERJA. Ini adalah keputusanku sendiri, bukannya paksaan dari Jason atau dari siapapun. Aku ingin memberikan sebanyak-banyaknya apa yang kuketahui kepada anak-anakku sebelum terlambat.

Di, aku harus pergi dulu. Pestanya akan segera dimulai. Bye....

**************************************************

14 Juli 1987

Hai My Diary,
Sudah dua tahun kita tidak berjumpa. Keadaan aku dan keluargaku baik-baik saja. Bahkan sekarang Jeremiah dan Jewel sudah sekolah di sekolah dasar kelas 1. Sebenarnya ini hari pertama mereka bersekolah. Aku dan Jason sangat bahagia. Tanpa terasa mereka sudah harus masuk ke sekolah dasar. Waktu berlalu dengan cepat Di. Serasa baru kemarin aku melahirkan kedua anakku.

Meski agak sibuk karena harus mengurus mereka, tetapi aku sungguh bahagia, bahkan puas, melebihi kepuasan yang aku rasakan ketika menyelesaikan sebuah proyek sewaktu aku kerja kantoran dulu. Kalau dahulu setiap hari, sebelum pekerjaan itu selesai, adalah saat-saat yang membuat seseorang, atau mungkin beberapa, merasakan stres yang berkepanjangan. Dan hanya pada saat segala sesuatu yang telah dikerjakan sukses, itulah saat dimana kelegaan yang tidak bertahan lama itu bisa dirasakan. Tetapi sekarang, setiap mata-mata mungil itu tertutup dan tenggelam dalam mimpi, aku bisa merasakan kelegaan itu dan itu terjadi setiap hari. Sesuatu yang tidak dapat digantikan dengan apapun. Meski tidak selamanya mulus. Tapi aku puas dan bahagia. Dan ini membuat rasa syukurku kepada Allahku makin bertambah. Karena tanpa kekuatan dariNya, aku pasti tidak akan sanggup menghadapi semua masalah yang datang dalam keluarga kami.

Jangan kuatir Di, hubungan aku dan Jason baik-baik saja. Walau kadang kami berselisih pendapat, akan tetapi kami tetap saling mencintai. Aku masih belajar bagaimana menjadi seorang ibu dan isteri yang baik bagi anak-anak dan suamiku. Meski aku sudah banyak membaca buku tentang mengasuh anak dan yang lainnya, sampai-sampai aku tidak mengingat lagi apa-apa saja judul buku yang telah aku baca. Akan tetapi tetap, aku merasa semuanya itu belum cukup. Dan itu membuatku, mau tidak mau, harus ‘belajar’ setiap hari.

Oh ya, aku dan ibu Jovie, tetanggaku mau membuat sebuah usaha dibidang kuliner. Kebetulan kami berdua suka membuat berbagai macam kue. Butuh waktu setahun untuk mempertimbangkan tawaran ibu Jovie. Karena aku mencemaskan anak-anakku. Tetapi Jason-lah yang membuatku maju terus dan memutuskan untuk memulai usaha ini. Dan jujur saja aku gugup dan takut, kalau orang lain tidak menyukai kue buatan kami.

“Jangan kuatir sayang. Kue buatan kamu enak kok. Buktinya setiap kali acara keluarga kue kamu pasti habis dimakan oleh keponakan-keponakan kita. Kalau keluargaku saja menyukai kue buatan kamu, pasti orang lain juga akan menyukainya. Belum lagi kalau mereka sudah tahu siapa pembuatnya, pasti mereka akan jatuh hati kepadamu, tidak hanya kepada kue buatanmu,” jawab Jason ketika aku mengutarakan semua rasa yang aku rasakan pada suatu malam, seraya menggodaku.

Meski Jason berkata demikian, rasa gugup yang hinggap di hatiku tidak hilang begitu saja dengan seketika. Apalagi hari ini, hari dimana kami memulai usaha kami. Baru sejam yang lalu ibu Jovie membawa kue buatanku dan buatannya, tetapi serasa sudah sehari kue itu dijual di warung dekat rumah kami. Degup jantungku terus bertambah seiring berlalunya waktu. Waktu yang mengingatkanku untuk menjemput anak-anak di sekolah. Untung saja sekolah mereka tidak jauh dari rumah kami, jadi mudah bagiku untuk menjemput mereka.

Tapi jujur saja Di, aku penasaran dan gugup serta tidak sabar menunggu hasil penjualan kue kami. Apakah laku semuanya atau tidak? Apakah mereka menyukainya atau tidak? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang terus beredar di otak semenjak Ibu Jovie membawa kue-kue kami ke warung terdekat. Aku jadi gemas sendiri. Mungkin, lebih baik aku pergi ke sekolah anak-anakku. Siapa tahu Di, bertemu dengan orangtua murid lainnya dapat membantuku melupakan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku gelisah setiap menit. Semoga saja.......

*************************************************

Aku tidak pernah menyangka, usaha yang selama ini mama jalankan, yang tentu saja diteruskan oleh kembaranku yang lebih duluan lahir, hanyalah usaha dengan modal coba-coba semata. Pasti dahulu ibu tidak pernah menyangka usahanya dan Tante Jovie akan sukses. Benar-benar diluar perkiraan.

Jika aku harus jujur, dan aku akan jujur kepada diriku sendiri, sifat mama yang pantang menyerah dan suka bekerja keras adalah sifat yang kukagumi dari beliau. Dan itu baru aku sadari sekarang. Apa dahulu aku bertengkar dengan mama hanya karena aku iri tidak mempunyai sifat seperti yang mama dan kembaranku miliki? Meski sering berbeda pendapat, tetapi mama selalu menjadi idola nomor tigaku. Tuhanku dan ayahku adalah dua idola teratasku. Bahkan teman-temanku, tidak sedikit dari mereka yang mengagumi sifat mama, sampai-sampai ada beberapa anak yang merasa iri kepadaku karena mempunyai mama seperti mamaku.

Beberapa lembar dari diary mama aku langkahi, hanya terdapat tulisan-tulisan yang tidak terselesaikan. Mungkin pada waktu mama sementara menulis isi hatinya, ada hal penting lainnya yang harus dilakukannya. Entah berapa halaman aku lewatkan, aku sudah tidak menghitungnya lagi. Aku teringat betapa sibuknya mama ketika harus mengurus masalah yang menyangkut usaha yang dibangunnya. Sedangkan aku, waktu itu merasa sangat cemburu dengan perhatian mama yang sangat besar terhadap usahanya. Aku selalu merasa diabaikan. Entahlah.

**************************************************

24 Juli 1997

Halo Diary-ku,
Terima kasih tetap setia mendengar segala isi hatiku, meski aku sering tidak mencurahkan semua yang ada kepadamu. Karena itu merupakan rahasia antara aku dan Tuhan. Tapi hari ini aku membagi sukacita yang kurasakan.

Genap sudah tujuh belas tahun usia kedua buah hatiku yang berharga. Aku dan Jason sangat bahagia, karena Tuhan sudah memberikan banyak berkat bagi kami sekeluarga, khususnya kepada kedua buah hatiku. Dan seperti biasa, tradisi yang telah ada semenjak kapan pastinya aku tidak tahu, kami mengadakan pesta ulangtahun yang meriah untuk kedua anakku. Puji Tuhan, kami dapat merayakan ulangtahun keduanya dengan meriah. Itu semua karena berkatNya dalam pekerjaan Jason dan usaha yang aku jalankan. Meski terkadang tubuh ini terasa lelah, tapi demi kebahagiaan anak-anakku, semuanya terasa bagaikan mesin pendorong yang memberikanku kekuatan ekstra untuk bekerja lebih keras lagi.

Tapi Di, terkadang aku kuatir, apakah yang aku lakukan selama ini baik bagi pertumbuhan mental anak-anakku? Karena aku merasa perhatian yang selama ini aku berikan hanyalah bersifat materi. Aku kesulitan Di dalam memperlihatkan rasa sayangku kepada anak-anakku, khususnya kepada Jewel yang akhir-akhir ini menjadi sangat pendiam. Mungkin bukan hanya akhir-akhir ini, kapan pastinya aku tidak tahu. Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Meski aku sudah mengetahui segala akibat dari keputusan yang aku ambil, tetapi aku tidak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini. Walaupun aku harus berterimakasih kepada Tuhan, tidak hanya Jewel tetapi juga Jeremiah, kedua-duanya tidak terlibat dengan dunia narkotika yang marak akhir-akhir ini.

Tetap aku merasa ada sesuatu yang salah dengan apa yang aku lakukan Di. Aku merasa bersalah kepada anak-anakku. Dan aku telah banyak berdoa kepada Tuhan supaya aku dapat mengetahui apa yang salah denganku. Karena aku benar-benar merasa tersesat, semua yang aku ketahui sebelumnya mengenai mengasuh anak, susah untuk aku praktekkan.

“Kamu tidak perlu kuatir sayangku. Apa yang dialami Jewel saat ini, juga dialami juga anak remaja lainnya. Bukanlah suatu masalah yang besar. Jewel hanya sedang mencari jati dirinya. Saat ini kita hanya bisa membimbing dan berdoa baginya. Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Lebih baik kamu istirahat yang banyak, karena aku lihat kamu makin kurus akhir-akhir ini,” jawab Jason ketika aku berdiskusi dengannya mengenai anak-anak kami. Tetapi jawabannya tidak membuatku merasa puas seperti sebelum-sebelumnya.

Entahlah Di, aku bingung. Bahkan aku takut untuk membayangkan apa yang akan terjadi atas anak-anakku di masa-masa yang akan datang. Aku takut apa yang aku takutkan dan bayangkan beberapa minggu terakhir ini akan terjadi. Semoga tidak Di. Benar Di, aku harus bersikap dan berpikiran positif terhadap anak-anakku dan masa depan mereka.

Aku harus yakin, masa depan mereka secerah masa depanku.

********************************************

25 Juli 1997

Hai Di,
Puji Tuhan, pesta ulangtahun anak kembarku kemarin berlangsung dengan sukses. Semua tema-teman sekelas dan teman-teman sekitar rumah dan beberapa undangan lainnya datang, dan semuanya bergembira. Aku bahagia karena anak-anakku bahagia, walau ulangtahun kali ini oma dan opa mereka tidak bisa bersama-sama kami merayakan ulangtahun mereka tahun ini. Kedua orangtua Jason telah meninggal Di setahun yang lalu. Tidak, mereka tidak meninggal karena sakit, tetapi karena sudah waktunya. Meninggalnya pun hampir bersamaan. Dan jujur saja aku merasa sangat kehilangan mereka. Karena kembali aku harus menjadi anak yatim-piatu.

Aku sedih Di, karena tidak bisa berbagi kebahagian yang aku rasakan dengan mereka. Terlebih kebahagian yang kurasakan kemarin, ketika merayakan ulangtahun kedua buah hati yang ketujuh belas. Hadiah yang kuberikan untuk Jeremiah dan Jewel? Untuk Jeremiah, aku memberikan sepeda motor. Meski tidak sesuai dengan yang dia inginkan, tipe dan jenis motornya, tetapi Jeremiah senang dengan pemberian kami. Dan untuk Jewel, perhiasanku yang berharga, aku dan Jason memutuskan untuk memberikannya satu set perhiasan dari emas. Meski harganya tidak mahal, tapi kami ingin Jewel memilikinya. Kami ingin Jewel tahu, bahwa dia lebih berharga dari perhiasan yang kami berikan kepadanya.

Di, aku mau tidur dulu. Mataku terasa berat sekali. Nanti kita lanjutkan lagi. Bye...

*************************

Jujur saja, aku terkejut ketika mengetahui tujuan perhiasan, yang selama ini aku benci, diberikan kepadaku. Aku tidak pernah menyangkanya. Benar-benar melebihi bahkan berbeda dengan apa yang selama ini aku pikirkan dan bayangkan. Selama ini aku merasa begitu tidak berharga dimata kedua orangtuaku sehingga mereka memberikan perhiasan yang jelek pada saat ulangtahun ketujuh belasku. Aku merasa begitu bersalah, karena selama ini, sampai kedua orangtuaku dipanggil olehNya, aku tidak pernah mencoba menjadi anak yang berbakti.

Hatiku hancur mengetahui kenyataan yang ada. Semua pertanyaan yang ada dikepalaku seakan hilang lenyap dibawa angin penyesalan yang terlambat datangnya. Entah mengapa aku bertindak begitu bodohnya. Selama ini Jeremiah sudah menasihatiku, nasihat yang tidak perah aku ikuti dan lakukan. Aku merasa begitu berdosa. Bagaimana mungkin aku dapat menjadi anak yang tidak berbakti seperti sekarang ini.

Percuma aku menangis sekarang. Tapi, rasa sakit dalam diriku tidak dapat kubendung lagi. Aku merasa begitu kehilangan diriku dan orangtuaku. Tuhan kenapa kau biarkan aku berubah menjadi seperti ini. Aku sangat berdosa. Sakit. Hatiku terasa sakit sekali. Aku...

*************************

27 Juli 1998

Hari ini aku gembira sekali Di, karena hari ini cabang tokoku yang kelima resmi dibuka. Sekedar informasi untukmu – aku lupa memberitahukan sebelumnya kepadamu – usaha yang sebelumnya aku buka bersama ibu Jovie, resmi menjadi milikku. Ibu Jovie sudah menjual ‘saham’nya kepadaku. Dan sudah lima tahun aku menjalankan usahaku seorang diri. Karyawanku juga bertambah banyak. Aku senang dapat membantu mereka yang membutuhkan pekerjaan, meski pada mulanya begitu sulit mempekerjakan mereka yang tidak mempunyai keahlian membuat kue dan yang lainnya. Tapi puji Tuhan, sejauh ini mereka semua mau berusaha dan belajar. Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan karena telah mengirimkan orang-orang yang mau maju dan suka bekerja keras, sehingga usahaku maju dan sukses seperti sekarang ini. Aku berharap hal yang sama juga diberikan kepada anak-anakku dalam pekerjaan mereka nantinya di masa yang akan datang.

Bicara soal anak-anakku, sekarang mereka sudah duduk di kelas tiga SMA. Jewel mengambil jurusan IPA, sedangkan Jeremiah mengambil jurusan IPS. Itu sudah menjadi pilihan mereka. Aku dan Jason tidak pernah memaksa anak-anak kami mengikuti keinginan kami. Kami ingin mereka belajar mengambil keputusan sendiri. Aku dan Jason telah sepakat, peran kami hanyalah sebagai penasihat bagi anak-anak kami. Mengingat sekarang ini mereka cukup dewasa mengambil keputusan sendiri dengan segala resiko yang ada. Dan alasan mereka memilih jurusan itu, hanya mereka yang tahu. Anak jaman sekarang pandai sekali menyimpan rahasia, dan agak keras kepala menurutku. Memang berbeda sekali dengan anak muda jaman-jamanku dahulu. Tapi walau bagaimanapun, aku dan Jason akan mendukung mereka dengan kasih sayang

Itu kabar terbaru anak-anakku. Mengenai Jason. Aku dan dia baik-baik saja, malahan kami berdua makin mesra saja. Pertengkaran yang dulunya hampir tiap hari terjadi, berkurang menjadi hampir tidak pernah. Jason bahkan telah diangkat menjadi wakil direktur di perusahaan tempat dia bekerja dari dahulu. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan, karena Dia memberkati keluarga kami dalam segala hal. Sudah mulai bermunculan uban di kepala Jason, tapi itu membuatnya tambah kelihatan ganteng saja. Dan aku tambah mengerti dan mencintai segala sesuatu yang ada pada Jason.

Oh iya, tadi aku berjumpa dengan mantan bosku. Tadinya aku kira dia bakalan marah ataupun menertawaiku. Tapi sungguh tidak terduga, dia justru merasa bangga dengan segala usahaku. Ternyata, selama ini Di, dia terus mengikuti perkembangan usahaku, bahkan menurut dia, keluarganya juga menyukai semua kue yang dijual di tokoku. Aku bahagia dan senang dapat membahagiakan dan menyenangkan orang lain. Walaupun tidak semuanya.

Di, aku mau istirahat dulu yah. Soalnya besok pagi aku harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan kue-kue yang akan aku jual di tokoku. Nanti kita lanjutkan lagi ya?! Good night. Mimpi yang indah.....

Friday, September 18, 2009

Diary Ibuku (bag. III)

Tak terasa hari sudah semakin larut. Aku begitu hanyut dalam setiap kata yang aku baca dalam diary ibuku, setengah bukupun belum aku selesaikan. Aku bisa membayangkan apa saja yang ibu lakukan selama masa mudanya, bagaimana perasaannya. Apa saja yang diingininya dengan penuh hasrat. Hanya saja itu membuatku heran kenapa aku tidak seperti mamaku. Padahal hampir setiap orang yang aku tanyakan pasti akan menjawab anak pertama perempuan itu kalau dewasa peringai seperti ibunya. Tapi aku beda dengan mamaku. Bagaikan air dan api, itulah kami berdua. Mamaku airnya dan tentu saja aku apinya.

Kepalaku terasa pening setiap kali memikirkan hal itu. Begitu banyak prasangka-prasangka buruk setiap kali aku memikirkan hal ini. Bertahun-tahun aku mencoba mengenyahkan segala prasangka buruk yang timbul ketika aku mulai menyadari perbedaan yang begitu besar antara aku dan mamaku. Dan mengenai papaku, beliau adalah orang yang tenang juga sama seperti mama. Hal ini makin menguatkan segala prasangka buruk yang baru berupa benih itu beberapa tahun yang lalu. Sungguh, aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk melupakannya. Tetapi, aku tidak bisa.

Sekarang, aku butuh istirahat, sebelum kepala ini pecah. Mungkin besok aku akan menemukan jawaban dari pertanyaanku beberapa tahun ini dalam diary mama. Semoga saja seperti itu.


****************************************


01 Juli 1980

Diary-ku, aku ingin curhat mengenai sesuatu kepadamu.
Hari ini aku bertengkar besar dengan ibu mertuaku. Dan ini bukan karena kesalahanku semata, tapi juga kesalahan ibu mertuaku. Sesak dada ini Di. Aku sudah mencoba untuk bertahan sebisa mungkin untuk tidak membencinya selama kehamilan. Akan tetapi kesabaranku seakan-akan sudah mencapai batas akhirnya. Aku tidak pernah menyangka akan terasa sakit seperti ini. Selama ini jika ada yang menyakiti aku hanya cuek saja. Ibu mertuaku adalah orang ke dua yang... entahlah Di bagaimana kata-kata dapat menggambarkan sakit yang aku rasakan. Apa karena selama ini aku tidak pernah dimarahi dan marah terhadap seorang yang bernama ‘ibu’? Inikah rasanya mempunyai seorang ibu? Apakah mungkin ini yang terjadi dalam hubungan ibu dan anak perempuannya? Apakah ini juga akan terjadi dengan anak perempuanku?

Entahlah Di, hanya Tuhan yang tahu.

Maafkan aku Di, aku tidak bisa bercerita kepadamu hari ini. Air mata ini tidak berhenti mengalir. Pikiranku juga sangat kacau. Mudah-mudahan besok semuanya baik-baik saja Di.


****************************************


03 Juli 1980

Hai Di,
Maafkan aku, karena tidak mengisimu kemarin. Kemarin aku benar-benar tidak bergairah sama sekali untuk melakukan segala sesuatu. Bahkan, ini rahasia antara kita berdua, aku kemarin tidak mandi seharian. Yang ada aku hanya mencuci muka dan gigiku. Seluruh kekuatan serta sukacitaku seakan habis, hilang begitu saja. Kalau mau dipikir-pikir, sehabis aku bertengkar dengan mertuaku, aku tidak bersemangat melakukan hal-hal yang biasanya kulakukan.

Tapi itu kemarin. Sekarang aku kembali bersemangat, karena pagi ini akhirnya ibu bicara sama aku. Dan akhirnya, kami saling memaafkan dan saling mengakui kesalahan masing-masing. Entah apa yang dibicarakan Jason dengan ibunya itu kemarin malam. Tapi aku tidak bisa menutupi rasa bahagiaku ketika mertuaku berbicara denganku. Perasaan lega muncul dari hatiku. Bahkan sukacita dan semangat yang tadinya menghilang secara tiba-tiba, kembali juga secara tiba-tiba. Membuat aku optimis akan hari ini. Semuanya akan baik-baik saja, itu yang terlintas di kepalaku sehabis aku bincang-bincang dengan mertuaku sebelum akhirnya aku masuk ke dalam dapur.

Tadi juga aku sempat bercerita kepada anak dalam kandunganku. Aku ajarkan kepadanya bahwa membenci itu tidak ada gunanya. Dan betapa memaafkan seseorang itu sangat melegakan. Aku berharap anakku nantinya dapat menjadi anak yang dapat memaafkan orang lain dan dirinya sendiri. Aku sengaja menuliskan ini Di, supaya nanti anakku dapat belajar akan hal memaafkan ini, jika saja aku tidak sempat mengajarkan pelajaran berharga ini. Siapa yang bisa tahu akan apa yang terjadi di masa yang akan datang. Mungkin nanti aku tidak mempunyai waktu buat anak-anakku, karena pekerjaan atau mengurus keperluan keluarga kami mungkin? Buat jaga-jaga saja Di.

Hari ini aku dan mertuaku memasak sesuatu yang istimewa untuk Jason. Makanan kesukaannya dari dahulu, Makaroni panggang saus tomat keju. Masakan kreasi mertuaku, yang mana Jason juga sangat mahir memasak masakan itu. Harus aku akui Di, bakat memasak Jason diturunkan dari mertuaku, mamanya. Dan aku rasa aku harus banyak belajar memasak dari dirinya.

Apa yang terjadi hari ini Di, benar-benar menakjubkan. Aku terpesona melihat setiap gerakan tangan mertuaku sewaktu memasak. Dan bau masakannya. Membuat perutku menyanyikan lagu keroncong sealbum. Rasanya apalagi. Tidak kalah dengan koki restoran terkenal di kota kami. Kira-kira anakku bakalan seperti oma dan papanya tidak ya?

Jangan kuatir Di, bukannya aku tidak pede dengan apa yang ada pada diriku. Aku hanya mencoba untuk mencari kebaikan dalam mertuaku dan tentunya suamiku, Jason. Jangan salah Di, Jason sama dengan aku dan manusia lainnya di dunia ini, TIDAK SEMPURNA. Bukannya dari fisik Di, tapi dari mental, sifat, pembawaan diri bahkan cara berpikir setiap manusia di dunia ini, tidak ada yang sempurna. Kalau ada maka dia adalah penguasa dunia ini, dan tidak ada yang seperti itu selain sang Pencipta segala sesuatunya, Tuhan yang aku percaya. Kalau ada yang bilang Tuhan tidak sempurna, maka orang itu pasti orang yang berpikiran sempit. Menerutku Di, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, entah baik atau buruk, pasti ada sesuatu di balik semua itu. Sesuatu yang indah. Hanya saja kita sebagai manusia tidak bisa melihat hal yang indah itu. Misalkan saja perang dunia I dan II, banyak orang berpikir semua itu tidak perlu terjadi, tidak manusia dan segudang pernyataan negatif lainnya. Tapi siapa yang tahu cerita-cerita di balik perang itu. Tidak semuanya merugikan. Yang ingin aku katakan Di, semuanya itu memang sudah direncanakan Tuhan dan pada waktu Tuhan sesuatu yang indah akan muncul ke permukaan. Sama halnya dengan diriku Di. Mungkin jika saja aku tidak ‘ditetapkan’ menjadi anak yatim piatu yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di panti asuhan, aku tidak pernah akan mengenal Jason, bahkan aku tidak pernah menikahinya. Dan inilah aku, isteri dari Jason Chandawinata yang sebentar lagi akan menjadi ibu dari anak yang ada dalam kandunganku. Dan aku sungguh bersyukur akan hal itu, meski masa laluku tidak seindah masa lalu Jason. Tetapi tetap Tuhan menjalankan setiap rencananya dalam hidupku, dalam hidup Jason, dalam hidup mertuaku, dan tentu saja dalam hidup anakku nantinya.

Di, kayaknya cukup sekian dulu. Sekarang sudah larut malam dan aku harus bangun beberapa jam lagi, kembali melakukan kegiatan yang telah dirancang oleh ibu mertuaku. Sampai jumpa besok atau lusa atau minggu depan. Kalau aku sempat. Selamat tidur Di, mimpi indah!


****************************************


24 Juli 1980

Hai Di,
Aku punya kabar baik buatmu. Hari ini aku melahirkan. Anak kembar. Bisa kau bayangkan? Selama sembilan bulan aku mengandung, aku selalu mengira hanya akan melahirkan seorang anak bukannya dua. Yang lebih menggembirakannya lagi, anak yang lahir berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pagi ini mereka lahir dengan selamat dan kondisi mereka sangat sehat dan tidak cacat. Kami semua bahagia. Terutama Jason. Air mata kebahagian meluncur dari kedua matanya yang teduh itu saat melihat untuk pertama kali dua anak yang dinantikannya. Bahkan mertuaku juga tidak kuasa menahan air matanya.

Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan Di, karena anak-anak yang diberikan-Nya kepadaku. Meski tadi, sebelum melahirkan, aku sempat ketakutan membayangkan apa yang harus aku lakukan dan rasa sakit saat melahirkan. Tapi puji Tuhan, semuanya baik-baik saja. Kebahagiaan, kelegaan, dan sukacita melingkupi tidak hanya aku tapi juga Jason dan ibu mertuaku.

Yang lucunya, karena terlalu bahagia, Jason lupa mengabarkan perihal kedua anak yang belum kami namai kepada keluarganya yang lain. Terutama kepada bapak mertuaku yang saat ini tidak dapat berkumpul dengan kami karena kondisi kesehatannya yang kurang baik. Sedih juga jadinya Di.

Di, aku harus memberi susu kepada anak-anakku dulu, nanti kita lanjutkan lagi pembicaraan kita. Bye....


**********************************************


26 Juli 1980
Hari ini aku sedih sekali Di, bukan karena harus kembali ke rumah, tetapi karena oang tua salah satu teman kuliahku meninggal dunia kemarin. Aku mengetahui hal itu dari teman kuliahku yang lainnya. Aku, dia dan beberapa orang lainnya cukup dekat semasa kami kuliah dulu. Dan entah mengapa aku merasa sedih ketika mendengar hal itu. Kehilangan orang tua adalah salah satu hal yang menyedihkan di dunia yang fana ini. Dan aku tahu bagaimana rasanya. Masih mendingan kalau ada alasan kenapa sampai kita kehilangan orang tua, akan tetapi jika tanpa alasan kita kehilangan orang tua itu lebih menyakitkan. Dan entah dimana orang tuaku sekarang berada.

Sebenarnya Di, aku ingin pergi menemui temanku itu, tapi aku tidak bisa. Karena selain rumahnya jauh, di kota lain yang letaknya sangat berjauhan dengan kotaku, aku juga tidak bisa meninggalkan anak-anakku yang baru berumur dua hari. Aku ingin menghubunginya, tetapi aku maupun teman-teman lainnya tidak mengetahui nomor telefon rumahnya yang baru. Berita soal meninggalnya bapaknya pun sampai ke telinga teman-teman dan aku melalui salah satu mantan pacar temanku itu, yang statusnya sekarang berubah menjadi teman biasa. Hampir aku lupa, Rini, itu nama temanku yang saat ini entah berada dimana dan sedang berduka. Entahlah Di, aku tidak tahu harus bilang apa lagi sama kamu soal temanku yang satu ini.

Tapi Di, hari ini aku tidak boleh bersedih di depan anak-anakku, nanti mereka ikutan sedih lagi. Bisa repot jadinya. Kasihan ibu mertuaku. Berapa lama lagi mertuaku harus meninggalkan belahan jiwanya yang sedang sakit.

Soal anak-anakku, aku tidak pernah bisa berhenti berterima kasih kepada Tuhan karena telah memberikan mereka kepadaku. Malaikat-malaikat mungil yang sangat cantik dan tampan. Sungguh Tuhan itu luar biasa. Aku sendiri kagum dibuatnya. Bayangkan saja Di, dari sperma dan sel telur bisa terbentuk satu bahkan dua manusia dalam perut manusia lainnya. Dan hal ini membuatku makin mengagumi Tuhan yang ku percaya.

Tapi Di, kayaknya sampai di sini dulu. Sekarang saatnya minum ASI bagi anak-anakku. Nanti kalau aku sempat, aku akan mengabarkanmu sesuatu. Bye.....


****************************************


Hari telah berganti, bahkan matahari telah berada pada puncaknya, ketika aku menutup diary ibuku. Rasa lapar yang aku rasakan tidak terbendung lagi. Ya, aku melanjutkan kembali aktifitas yang aku lakukan kemarin hingga subuh tadi. Dan entah mengapa, meski aku tidur jam tiga subuh, tetapi tetap aku bangunnya seperti biasa. Apa mungkin karena rasa penasaran yang ada dalam diriku dalam mencari penjelasan yang pasti kenapa aku berbeda dengan orangtuaku.

Tapi semuanya aku nikmati. Jauh dari tuntutan pekerjaan, memang sangat kubutuhkan saat ini. Bahkan jauh dari dirinya untuk sementara waktu sepertinya kuperlukan. Jonathan, dia yang saat ini ingin ku hindari. Bukan karena sesuatu yang buruk, hanya saja, aku belum siap menjawab lamarannya waktu itu. Dan aku belum menemukan alasan yang tepat untuk menerima maupun menolaknya.

Sambil memandang ke luar jendela, aku terkenang masa kecilku. Ketika aku bermain dengan ayahku dan saudara kembarku. Tak terasa air mata mulai menetes di pipiku. Terlintas bagaimana aku tidak rela melepas kepergian ayah yang sangat kucintai lima tahun yang lalu. Aku tidak rela melepasnya karena aku belum puas dengan jawaban yang diberikannya sebulan sebelum kematiannya.

“Kamu adalah anak kandung kami berdua, Jew. Bahkan kamu dan saudara kembarmu adalah kebahagiaan kami berdua. ‘Harta yang tak ternilai’, itu yang ibumu sering katakan kepada ayah. Dan memang kau dan Jeremiah adalah harta kami yang tak ternilai. Kamu harus ingat itu.”

Itu yang selalu dikatakan oleh ayahku. Dan jawaban itu tidak memberikan kepuasan kepadaku. Aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa lagi selain kepada kedua orangtuaku yang saat ini aku yakin telah berkumpul kembali di surga, meninggalkanku dengan jawaban yang tidak memuaskan.

Saat ini aku tidak ingin membuang tenagaku dengan emosi yang tak pasti ini. Aku hanya berharap malam ini Jeremiah dan isterinya Nina akan mengajak keluar jalan-jalan atau mungkin malam di luar. Karena aku sangat merindukan kota ini. Lima tahun yang lalu adalah terakhir kali aku datang ke kota ini. Dan tidak banyak yang berubah dari kota ini. Termasuk keindahan alam yang dimilikinya membuatku terpesona setiap kali aku melihatnya.

Mungkin aku lebih baik membaca diary ibuku di halaman belakang kami. Apalagi pada cuaca seperti sekarang ini. Aku hanya berharap dapat menemukan jawaban yang pasti atas semua pertanyaanku.

Diary Ibuku (bag. II)

19 Mei 1980

Hai Di...
Aku tidak harus memulai darimana untuk menceritakan apa yang terjadi hari ini. Oke...akan aku coba. Tunggu sebentar ya, aku mau mempersiapkan diriku dulu. Baik aku sudah siap.

Hari ini adalah kali pertama aku keluar dari rumah bersama-sama suamiku. Kami pergi ke sebuah pusat belanja yang cukup terkenal, karena barang-barang yang dijual disana cukup lengkap dan harganya relatif lebih murah dibandingkan di tempat-tempat belanja lainnya. Apa karena baru buka sampai-sampai harganya murah? Ya, jalan-jalan sambil melihat-lihat siapa tahu aku bisa menemukan pakaian yang cocok untuk si jabang bayi. Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan kepadamu. Ini betul-betul diluar dugaanku. Aku tidak pernah sekalipun membayangkannya.

Tadi aku bertemu dengan dia, Ferry, orang yang memperkenalkan aku dengan yang namanya cinta, dan juga yang memperkenalkan aku dengan rasa sakit yang luar biasa akibat putus cinta. Cinta pertama? Entahlah Di, sampai sekarang aku belum bisa menemukan definisi ‘cinta pertama’ yang tepat. Dan sepertinya bukan aku saja yang belum menemukan ramuan yang tepat untuk menyusun definisi ‘cinta pertama’ itu.

Sempat terbesit rasa sakit yang aku rasakan yang diakibatkan oleh dirinya. Dan yang membuat rasa sakit itu bertambah sewaktu dia menyapaku dengan ekspresi seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Berat Di, berat sekali untuk memaafkan seseorang yang sudah menyakiti hati ini disaat diri ini tidak pernah menyakiti orang itu. Meski sekembali di rumah, aku membuka kembali Alkitab yang membicarkan perihal memaafkan. Akan tetapi, meski aku mengerti dan ada keyakinan aku bisa melakukannya, untuk prakteknya sungguh sulit Di.

Dan soal Jason, dia tahu semua perbuatan yang dilakukan oleh Ferry. Tadi aku bisa merasakan amarah yang ditahan olehnya. Itu membuatku makin mencintainya. Sekarang aku tidak akan dibutakan lagi oleh tampang dan rayunya. Karena aku sudah mempunyai Jason dan Tuhan disampingku, dalam setiap langkahku.

Jadi ingat sewaktu Jason melamarku, saat kami sedang merayakan hari jadian yang memasuki bulan ketiga. Keraguan sempat memenuhi hatiku. Waktu itu aku masih trauma. Kalau mau dihitung-hitung, Jason sudah bersamaku kurang lebih selama enam tahun, termasuk pernikahan. Bisa kamu bayangkan Di kesabaran yang dia miliki, menungguku pulih dari lukaku. Dua tahun lebih Di. Dan tidak pernah sekalipun dia mengeluh. Kecuali bulan lalu dan beberapa hari yang lalu. Kejadian yang ingin aku lupakan. Aku bersyukur kepada Tuhan karena telah mengirim Jason disaat aku sedih, dan menjadikannya pendamping hidup yang sempurna.

Kembali ke pertemuan kami dengan Ferry. Aku mengira dia telah menikahi wanita yang membuatnya berpaling dari diriku, tapi ternyata Di Ferry belum menikah-menikah hingga sekarang. Sungguh suatu kejutan apalagi seingatku dulu, aku sempat mendengar kabar bahwa dia akan menikahi wanita itu. Ternyata tidak. Entah apa alasannya aku tidak mau menduga-duga lebih lanjut. Bisa-bisa aku berbuat sesuatu yang seharusnya tidak aku lakukan, bahagia diatas penderitaan orang lain. Untungnya tadi kami tidak berbincang terlalu lama. Soalnya tanganku sudah mulai kesakitan karena digenggam sangat keras oleh Jason. Bisa dibayangkan bagaimana geramnya dia melihat muka Ferry.

Jadi kesimpulannya, hari ini aku mempelajari satu hal. Aku masih perlu belajar untuk melakukan pelajaran memaafkan kesalahan orang lain. Tapi disisi lain Di, aku sangat bahagia. Dan aku mencintai suamiku. Itulah fakta yang ada.

Terima kasih Di sudah mendengarkan ceritaku. Sampai jumpa lagi nanti.

*************************

25 Mei 1980

Dear Diary,
Hari ini aku merasa bahagia sekali. Akhirnya setelah sebulan lebih dipingit oleh suamiku, aku bisa pergi ke gereja. Hari ini sangat aku nantikan. Dimana aku bisa mengangkat rasa syukurku kepada Tuhan yang telah menyempurnakan hidupku sejauh ini. Meski tadi aku sempat mengantuk juga karena kurang tidur semalam. Rasa gugup yang melandaku semalam membuatku terjaga lebih lama dari biasanya. Berjumpa dengan orang lain membuatku merasa... entahlah mungkin lebih hidup. Mungkin karena sebulan ini orang yang ketemui di rumah hanyalah Jason, suamiku dan pembantu kami yang bernama Jovie. Melihat berbagai mimik merupakan suatu hiburan tersendiri bagiku.

Kemarin aku dan Jason pergi ke dokter kandunganku untuk memeriksa kembali kondisi janin calon bayi kami, kebetulan dia tidak kerja hari ini. Dan hasilnya sungguh menggembirakan. Calon bayi kami sehat, lebih sehat dari kondisinya empat bulan yang lalu. Berat badanku juga bertambah, yang mana menurut dokter itu normal-normal saja. Aku tidak perduli kalau badanku naik atau tidak, yang penting anak dalam kandunganku bisa mendapatkan apa yang dia butuhkan. Yang pasti berat badanku masih bisa diturunkan setelah aku memenuhi kebutuhan ASI-nya.

Aku mencoba menahan diriku membayangkan rupa anak kami nantinya. Apakah mukanya akan sama seperti mukaku atau muka Jason? Pertanyaan yang sama yang aku tanyakan sebulan lalu. Tetapi rasa penasaran yang ada dalam hati dan pikiranku terus meluap seiring kebahagian yang aku rasakan dari hari ke hari, selama aku menghabiskan waktuku bersama anak dalam kandunganku.

Tapi Di, aku dan suamiku belum menyiapkan satupun nama untuk kami nantinya. Menurutmu kira-kira nama apa yang cocok untuk anak kami nanti? Ini cukup penting bagiku Di. Biar bagaimana pun aku tidak ingin memberi nama yang bisa dijadikan bahan olokan temannya. Mungkin nanti aku tanya langsung saja sama dia ya? Sama calon bayiku tentu saja Di. Kata orang biar masih dalam kandungan, mereka sudah bisa mengerti apa yang kita ucapkan atau katakan kepada mereka. Siapa tahu ada nama yang disukainya.

Kalau kamu tanyakan kenapa aku ingin melakukan seperti itu Di, jawabannya sederhana saja : Aku ingin anakku sedari kecil tahu apa yang dia inginkan. Oke...tidak sepenuhnya. Tentu saja dia bisa memutuskan setelah mendengar pendapat, argumen dan pemikiran dari aku, ibunya dan Jason, ayahnya. Tapi aku yakin anak dalam kandunganku ini akan menjadi anak yang manis, baik hati dan dengar-dengaran sama orang tuanya. Setidaknya itu yang aku pinta kepada Tuhan dalam setiap doa yang ku panjatkan kepada-Nya.

Ada kejadian yang cukup lucu tadi terjadi ketika kami berada di gereja. Ketika pendeta kami mulai berkhotbah, anak dalam kandunganku pun ikut bereaksi. Dan itu, entah kenapa, membuatku merasa geli dan ingin tertawa terbahak-bahak. Tetapi tentu saja aku tahan, dan tebak siapa yang menjadi sasaran pelampiasanku. Benar, Jason yang menjadi korban pertama kegemasan yang aku rasakan. Dan hampir saja seorang bapak yang cukup tua menjadi korban keduaku jika saja Jason tidak menahanku dan mengorbankan tangan dan lengannya menjadi sasaran pelampiasan rasa geli yang tak tertahankan waktu itu. Dan bisa tebak apa yang terjadi seusai ibadah kami. Jason meluncurkan berbagai pertanyaan atas tindakan yang aku lakukan tadi saat beribadah. Akan tetapi diri ini hanya bisa memberikan senyuman sebagai jawaban atas segala pertanyaannya. Biarlah apa yang terjadi tadi di gereja hanya aku, anakku, kamu Di dan Tuhan saja yang tahu.

Aku tidak bisa membayangkan apa yang dipikirkan oleh Jason setelah, melihat dan bukannya mendengar, jawabanku atas pertanyaannya. Membuatku serasa kembali ke masa mudaku dulu. Mudah-mudahan Jason tidak tersinggung atas jawaban yang kuberikan kepadanya.

Ada satu hal yang hampir aku lupa ceritakan kepadamu. Besok mamanya Jason, ibu mertuaku, akan datang ke rumah kami. Katanya sih mau menemani aku sampai aku melahirkan nanti. Kuatir kalau ada apa-apa dengan aku dan kandunganku. Padahal waktu aku hampir keguguran tidak pernah sekalipun dia menanyakan keadaanku. Dan sudah pasti bukan kuatir kepadaku adalah alasannya datang kemari.

Baiklah, aku rasa sudah cukup Di membicarakan mertuaku. Daripada aku harus menambah dosaku, karena membicarakan mertuaku, ibu Jason, sainganku dalam merebut perhatian Jason. Ini satu hal yang aku belum ceritakan kepadamu Di. Dan kita lihat saja nanti. Semoga aku bisa menahan diriku nanti.

**************************************************

01 Juni 1980

Dear Diary,
Maafkan aku baru mengisimu lagi. Akhir-akhir ini aku cukup sibuk. Cukup disibukkan dengan semua kegiatan yang dirancang oleh mertuaku. Ternyata Di, tidak seburuk yang aku bayangkan sebelumnya. Dan ini seperti jawaban atas doaku setiap hari. Mau tahu isi doaku apa Di? Aku memohon kepada Tuhan supaya selama mertuaku berada di sini, di rumah kami, aku dan dirinya dapat akur satu sama lainnya. Dan sungguh suatu keajaiban, aku bisa tahan menghadapi mertuaku, juga sebaliknya mertuaku bisa tahan dengan semua sikap manjaku yang muncul entah sejak kapan.

Dari dulu aku tidak tahu alasan pasti kenapa beliau begitu membenciku pada awal masa pacaran dan pernikahan kami. Aku enggan menanyakan alasan sebenarnya. Mungkin aku takut mengetahui alasan mertuaku membenciku. Tapi untuk saat ini aku senang hubunganku dengan mertuaku. Dan setidaknya Jason tidak harus memusingkan diri sendiri, karena dua wanita yang dicintainya bertengkar karena hal yang sepele. Aku rasa sudah cukup rasa lelah yang dia rasakan karena pekerjaannya.

Biar aku beritahu sesuatu kepadamu Di, suamiku adalah seorang pekerja keras yang mencurahkan segenap perhatiannya ketika dia sedang bekerja. Aku pernah menanyakan hal tersebut, mengapa dia bekerja begitu kerasnya. Dan kamu tahu apa jawabannya,
“Sederhana saja sayangku. Aku begitu menyenangi pekerjaan ini. Sudah menjadi impianku bekerja di bidang ini. Hasrat yang ku rasakan begitu besar, hingga aku tidak pernah ingin mengeluh ketika ada sesuatu hal yang tidak sesuai harapanku. Tetapi tentu saja pekerjaanku tidak sedikit pun menyaingi dirimu”

Entahlah Di, perkataan menggugah perasaanku waktu itu dan saat ini. Rasa cintanya dan eksistensi yang dia punya membuatku berpikir untuk melepaskan pekerjaanku untuk menjadi isteri yang baik baginya. Tapi apa cukup dengan menjadi baik saja? Bagaimana menurutmu Di?

Di, kayaknya sampai di sini saja perbincangan kita. Aku harus tidur siang ini, berdasarkan jadwal kegiatan yang disusun oleh mertuaku. Daripada harus ribut dengan mertuaku, jadi lebih baik aku turuti setiap kemauannya.

**************************************************

15 Juni 1980

Di, apa kabar?
Sejauh ini aku baik-baik saja, jika itu yang ingin kau tanyakan mengenai kabarku. Aku dan mertuaku sejauh ini baik-baik saja, setidaknya sampai beberapa jam yang lalu ketika aku lupa meminum susu untuk ibu hamil yang sama sekali tidak aku sukai. Dan entah bagaimana, mertuaku tahu kalau aku tidak meminum susu yang dibeli oleh suamiku, anak kesayangannya.

Jadi ingat ketika pertama kali aku harus menghadapi ketajaman lidah mertuaku. Waktu itu untuk pertama kalinya aku diperkenalkan kepada seluruh keluarga Jason. Seluruh keluarga itu termasuk saudara oma Jason, om-om dan tante-tante Jason, sepupu Jason yang entah berapa jumlahnya dan keponakan Jason yang masih kecil-kecil. Keluarga besar yang tidak pernah aku punyai. Pedasnya kata-kata mertuaku pertama kali aku rasakan ketika aku membantunya di dapur. Dapur yang menjadi tempat berkumpulnya para wanita mempersiapkan makanan dan mengatur sisanya untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing. Asal kamu tahu aja Di, kondisi dapur saat itu bagaikan film-film yang sering aku tonton. Sebuah keluarga besar berkumpul ketika salah seorang dari mereka, tentu saja yang paling disayangi oleh semua, hendak memperkenalkan calon pendampingnya. Bagi setiap calon isteri itu adalah tahap penilaian dari pihak keluarga. Suka atau tidak suka, harus aku akui, aku dan para isteri lainnya tidak hanya menikahi suami kami semata, akan tetapi kami semua juga menikahi keluarga kami, demikian juga sebaliknya. Aku berharap anakku nanti dapat melewati ‘ujian’ itu dengan mulus.

Kembali ke pertengkaran antara aku dan mertuaku. Sehabis dimarahi ibu mertuaku habis-habisan, - tetapi tidak seperti gambaran ibu mertua jahat yang digambarkan dalam film-film lokal yang banyak aku tonton -, aku mencoba secepat mungkin untuk berbaikan dengannya. Aku tidak bisa membencinya Di. Bisa-bisa anakku nanti mirip mertuaku, omanya, seorang wanita yang jika dilihat sepintas seperti seorang wanita galak, yang kegemarannya marah sepanjang hari. Lebih baik aku membenci Audrey Hepburn yang berakting dengan sangat mengagumkan. Aku suka melihatnya saat dia memerankan setiap peran yang ada. Gadis ceria, periang, fashionable, tetapi pandai dan mandiri di saat yang bersamaan. Dan itulah anakku nantinya ketika dia beranjak dewasa, itu kalau anak yang lahir dari rahim ini adalah perempuan. Kalau laki-laki, dia pasti akan mirip dengan Jason. Pria yang takut akan Tuhan, penyayang, baik hati, sabar, bijaksana, penuh perhatian, walau terkadang dia terkadang melakukan suatu tindakan yang konyol di depan umum, seorang pria idaman setiap wanita. Plus pandai memasak seperti mama, opa dan omanya. Ini rahasia antara kita berdua saja Di, sebenarnya itu tipe pria idamanku. Dan sekarang aku telah mendapatkannya. Jason Chandawinata, pria idaman yang telah kudapatkan, salah satu kiriman spesial dari Tuhan untukku.

Di, sepertinya aku harus mengakhiri pembicaraan kita. Sejam lagi Jason akan pulang rumah. Aku mau menyiapkan makan malam kami dulu. Bye...bye...

Friday, August 14, 2009

Diary Ibuku (bag. I)

06 April 1980
Tak terasa sudah tiga bulan semenjak dokter memberitahu perihal kehamilanku yang memasuki triwulan pertama. Aku hampir saja kehilangan calon bayi yang saat ini berada dalam perutku. Itu karena aku tidak mengetahui hal kehamilanku ini, aku sama sekali tidak sengaja. Untung saja waktu itu dokter mengatakan bahwa anak dalam kandunganku baik-baik saja. Dokter hanya menyarankan aku untuk memperbanyak waktu istirahat. Aku dan suamiku, yang senangnya minta ampun, sangat bersyukur bahwa anak kami baik-baik saja. Kehamilan ini sudah sangat kami nantikan semenjak kami saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan di gereja. Hatiku saat ini sangat berbunga-bunga. Kebahagiaan yang kurasakan tidak dapat kuungkapkan dengan kata-kata.

Hari ini aku baru sempat menulis kamu, diary-ku, karena selama tiga bulan ini aku harus berbaring di tempat tidur – sungguh suatu kegiatan yang cukup membosankan. Kalau selama sehari aku berbaring terus, bukanlah masalah sama sekali. Tetapi tiga bulan itu bukanlah waktu yang pendek. Tapi kata suamiku, itu semua demi kebaikan anak kami. Kira-kira, anakku bosan atau tidak ya, menunggu mamanya bangkit dari tempat tidur? Memikirkan hal itu membuatku merasa sebagai calon ibu yang cukup konyol yang pernah ada.

Tapi aku penasaran juga, kira-kira mukanya, matanya, warna kulitnya, hidungnya, jari-jarinya mirip siapa ya? Kata orang, kalau anak pertama itu perempuan, maka besar kemungkinan wajahnya mirip ibunya, sedangkan wataknya mirip ayahnya. Begitu juga sebaliknya. Kalau anak pertama laki-laki, mukanya mirip bapaknya, dan wataknya mirip ibunya. Tapi.... kalau kembar bagaimana coba? Jadi bingung sendiri. Yang pasti bagaimana pun nantinya, semuanya itu adalah titipan Tuhan yang harus dijaga. Tapi, aku sempat meragukan diriku ini, apakah aku sanggup menjadi ibu yang baik bagi anakku kelak?

Punsingin! Nanti aja, daripada kepalaku sakit memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Pasti....ya pasti aku bisa menemukan cara untuk mengasuh anakku. Sekarang yang harus aku pikirkan bagaimana caranya aku menghabiskan waktu di rumah sampai melahirkan nanti. Habisnya diary, suamiku tidak mau terjadi apa-apa sama aku makanya dia telepon ke kantor aku dan memberitahukan soal pemunduran diriku kepada bosku. Padahal jabatanku sudah bagus di perusahaan itu. Untungnya bosku memberikan penawaran kepada suamiku mengingat aku masih terikat kontrak dengan perusahan itu.

Jadi bingung juga......

Ngomong-ngomong diary, kayaknya untuk hari ini cukup sekian saja dulu. Nanti kalau ada berita terbaru aku kasih tahu ke kamu?! Aku mau masak dulu buat suamiku tercinta.


**************************************************


09 April 1980
Diary, maafkan aku sekali lagi karena menjumpaimu lagi semenjak pertemuan terakhir kita tiga hari lalu. Aku sempat dimarahi sama Jason, suamiku karena menyiapkan makanan buatnya. Salah satu pantangan dari dokter, mengingat kandungan yang tidak cukup kuat. Tapi diary, waktu itu entah kenapa aku ingin sekali membuatkan makanan buat suamiku tercinta. Dulu, ketika aku belum hamil boro-boro buatkan makanan, sarapan saja disiapkan sama pembantu kami. Aku kesal juga dilarang ini itu sama dokter dan suamiku. Mereka tidak tahu betapa tersiksa batin ini, betapa berat menahan diri ini melakukan kegiatan yang rutin aku lakukan setiap hari dan menggantinya dengan kegiatan yang tidak biasa aku lakukan.

Seluruh buku dalam rumah ini sudah habis dibaca olehku, bahkan album foto yang jumlah cukup banyak, kulahap sampai habis. Ini alasannya kenapa kamu kosong selama tiga hari. Dan jujur saja aku tidak terbiasa membaca buku sebanyak itu dalam waktu yang singkat, bahkan semua buku yang aku baca kebanyakan milik suamiku. Dia memang rajin membeli dan membaca buku. Itu salah satu alasanku memilihnya sebagai pendamping hidup sampai maut memisahkan kami berdua.

Jason, suami tercintaku, adalah salah satu berkat Tuhan yang luar biasa dalam hidupku. Tidak pernah terlintas sedikitpun untuk menghabiskan hidupku bersamanya. Kami berdua bertemu secara tidak sengaja di acara ulang tahun temanku yang ternyata masih saudaranya. Aku yang waktu itu masih terluka tidak ingin mengenal dirinya lebih lanjut, karena aku tidak ingin merasakan sakit yang sama. Tapi Jason tidak pernah menyerah. Seiring waktu terus berjalan, muncul perasaan ingin mengenalnya lebih lagi. Aku sangat mengagumi suamiku itu, dari dahulu hingga sekarang. Meskipun mukanya tidak seganteng Ari Wibowo, tapi kepribadiannya yang membuat aku terpesona. Oke, mukanya tampan kok, setidaknya menurut aku. Aku sungguh bersyukur dapat menemukan orang yang bisa kukasihi. Aku berharap di masa mendatang anakku dapat menemukan orang yang dikasihinya dan mengasihinya dengan segenap hati.

Kembali ke masa lalu, membuatku ingin tertawa sendiri. Betapa suamiku dengan sabar mencoba berbagai cara agar aku kembali mempercayai bahwa cinta itu ada dan cinta itu indah, serta membuatku tersenyum kembali. Salah satu kenangan indah yang tidak ingin kulupakan. Aku teringat kembali pada saat kami saling mengucapkan janji pernikahan kami di gereja, dihadapan Tuhan. Pancaran matanya yang teduh, penuh kasih membuatku tidak sabar untuk menjalani hidup berdua dengan dirinya. Meski waktu pacaran kami singkat, akan tetapi saat itu aku yakin bahwa dia adalah orang yang dikirim oleh Tuhan untuk menjadi pendamping hidupku sampai mataku tertutup untuk selamanya.

Dan sekarang aku tidak sabar lagi ingin melihat bagaimana suamiku memainkan peranannya sebagai ayah dari anakku ini. Dan aku juga tidak sabar ingin mengajarkan banyak hal kepada anakku ini. Kalau begini ceritanya diary, kayaknya aku bisa menikmati masa kehamilanku ini. Aku tidak sabar lagi memberikan kasih yang ada kepada anakku.


**************************************************


10 April 1980
Dear Diary,
Kemarin malam aku bertengkar sama suamiku. Hanya karena aku mengutarakan rencanaku untuk meneruskan pekerjaanku setelah melahirkan anak kami. Tapi dianya tidak setuju dengan rencanaku. Karena menurut dia, peran aku terhadap pertumbuhan anak kami itu penting. Dan, iya, aku tahu peranan cukup penting dalam proses pertumbuhan anak kami berdua, tetapi aku masih terikat kontrak dengan perusahaan tempatku bekerja. Tapi dia tetap bersikeras dengan keputusannya. Dan kamu tahu Di, ketika aku ingatkan kesepakatan yang dibuat bersama bosku, dia malah marah-marah. Aku jadi bingung.

Jujur saja Di, ini pertengkaran pertama kami setelah tiga tahun menikah. Sedih juga harus bertengkar dengan suami, akan tetapi – hihihii – lucu juga, ternyata bertengkar dengan suami itu seninya berbeda dengan saat kita bertengkar dengan orang lain. Aku tidak akan melupakan momen ini. Salah satu momen terbaik kami. Soalnya dengan begini aku jadi bisa tahu apa keinginan suamiku. Maklum saja selama ini kemauanku saja yang dituruti, sedangkan kemauannya tidak pernah terwujudkan, berhubung dia jarang mengungkapkannya kepadaku. Memang Tuhan itu luar biasa, bisa menciptakan manusia dengan sifat yang berbeda-beda. Serupa tetapi tidak sama. Bahkan hebatnya lagi Tuhan menyatukan dua manusia, dua jiwa, dua karakter yang berbeda dalam suatu ikatan yang dinamakan pernikahan.

Sungguh Di, aku sangat bersyukur bisa disandingkan dengan Jason, suamiku tercinta. Meski, dan mungkin, terlalu awal bagiku untuk menilai kelangsungan hubungan kami, tapi aku yakin, meski tidak akan sepenuhnya mulus dan bakalan hal-hal yang tidak diprediksikan sebelumnya, hubungan kami berdua tetap dijaga oleh Tuhanku.

Jadi mengantuk nich. Di, nanti kita lanjutkan lagi yach. Aku ingin tidur siang dulu, nanti kita lanjutkan lagi. Kalo bukan sebentar malam mungkin besok aja sekalian. Ok?!

Selamat tidur Di!!!


**************************************************

10 Mei 1980
Halo Di, apa kabar?
Sudah sebulan semenjak pertemuan kita terakhir. Sebulan ini lancar-lancar saja. Aku dan suamiku sudah berbaikan dari pertengkaran kami terakhir. Yang benar saja Di, masakan aku harus bertengkar terus menerus dengan kekasihku. Dan entah mengapa akhir-akhir ini aku jadi sering mengalah kepadanya. Aku menjadi lebih pengertian terhadap segala sesuatu yang terjadi disekitarku, terutama untuk kejadian-kejadian yang buruk. Mungkin ini bawaan mengandung, mengingat selama ini aku tidak mengidam yang aneh-aneh. Kalau memang seperti itu, pasti anak yang Tuhan berikan ini adalah anak yang spesial, tidak tergantikan dengan apapun.

Membayangkannya saja aku merasa bahagia. Bahagia menjadi anak yang spesial dan bahagia karena menjadi salah satu orang yang dipilih untuk menanggung segala tanggung jawab dalam mendidik anak ini dikemudian hari. Bukan anak teman kantorku, bukan anak tetanggaku, tetapi anak kandungku, anak yang akan segera lahir ke dunia ini.

Perasaan bahagia ini sama dengan perasaanku saat menonton 300 film komedi romantis dengan akhir yang bahagia disaat bersamaan. Sulit untuk membendungnya, sulit untuk mengungkapkannya dengan kata-kata. Perasaan ini adalah perasaan terbaik yang pernah kurasakan seumur hidupku. Dan kebahagianku bertambah ketika suamiku turut serta dalam kehamilanku. Tapi bukan berarti suamiku juga ikutan hamil seperti yang dilakukan Arnold S. dalam filmnya Junior. Suami yang tergantikan.

Kalau mau bicara lagi soal Jason, aku rasa satu buku diary seperti ini tidak akan pernah cukup. Karena apa yang selama ini dia lakukan, mulai kami berkenalan hingga saat ini, benar-benar diluar dugaanku ketika pertama kali berkenalan dengannya. Seperti yang ku katakan padamu sebelumnya, saat aku bertemu dengannya aku benar-benar terluka. Hatiku saat itu tertutup untuk cinta, tetapi tidak untuk memperluas jejaring. Waktu itu, menurut perkataan dia diawal pernikahan kami, dia jatuh cinta padaku pada pandangan pertama. Aku sangat tersanjung dengan perkataannya tersebut. Mengenang setiap pertemuan kami selama masa perkenalan dan pacaran, sampai pernikahan kami, membuatku makin mencintai dan menghormatinya. Dan aku sekali lagi berharap dialah satu-satunya yang akan menemaniku hingga aku tua nanti.

Bukanlah sesuatu yang muluk-muluk kan? Walau semua yang akan terjadi dikemudian hari tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan, tapi semuanya pasti akan menjadi momen yang tidak terlupakan oleh kami berdua. Dan mungkin bagi kami bertiga.

Di, kayaknya sampai sini saja dulu untuk hari ini. Aku mau mandi sore. Peluh dan keringat sedari tadi membuatku kegerahan. Ditambah aku harus memanaskan makanan untuk makan malam kami sebelum suamiku tercinta pulang dari kerjanya. Sampai jumpa Di.


**************************************************

17 Mei 1980
Di, aku sedih sekali hari ini. Aku bertengkar lagi dengan Jason, suamiku. Kali ini aku tidak tahu pasti apa penyebabnya, yang aku tahu semua ini salahku. Aku harus bagaimana Di? Tadi sehabis bertengkar, Jason mengurung diri dalam kamar kerjanya. Aku tidak berani mengganggunya. Jujur aku tadi agak takut melihat amarah yang menyala di mata Jason. Baru kali ini aku melihatnya marah sebesar itu. Apa aku selama ini yang terlalu manja dan terlalu cuek, sampai-sampai kemarahan dalam diri Jason terus menerus bertambah? Kalau memang seperti itu, betapa aku adalah seorang yang isteri yang sangat buruk. Aku tidak pernah menyadarinya. Selama ini aku mengira apa yang aku lakukan, bukanlah suatu masalah bagi kami berdua. Apa sikapnya tadi itu juga karena dia mengkuatirkan aku? Atau dimengkuatirkan anak yang berada dalam kandunganku? Kepada siapa aku harus mengadu semua ini?

Kamu tahukan aku ini anak yatim piatu. Dari kecil hingga sekarang aku tidak pernah tahu siapa orang tua kandungku. Dan kehidupan keras membuatku menjadi seperti sebelum aku mengandung. Hanya pekerjaan yang membuatku bertahan hidup. Dan sekarang, tentu saja Jason yang membuatku bertahan hidup. Ya, sekarang ada Jason dan anak yang akan lahir sebentar lagi. Entahlah Di, aku jadi bingung. Dan alasannya aku tidak tahu.

Ngomong-ngomong Di, tadi siang sahabatku Evi menghubungiku. Aku sangat terkejut saat mendengar suaranya diseberang. Evi adalah sahabatku sewaktu kami duduk dibangku SLTP, dan terakhir kali kami saling mengadakan kontak, saat aku sedang menyusun skripsiku. Kesibukan kerja yang memisahkan kami. Anaknya lumayan cerewet tapi baik hati. Salah satu perempuan keturunan China yang baik hati. Mengenang masa lalu memang menyenangkan. Apalagi mengingat gaya kekanak-kanakan kami waktu itu. Satu lagi, sekarang dia sudah menjabat sebagai manajer cabang tempatnya bekerja. Dan aku bangga dengan sahabatku itu. Selain dia ada seorang lagi sahabatku, yang juga sahabat Evi, yang sudah lama sekali tidak berjumpa dengan dirinya. Sungguh indah masa-masa itu. Dimana ada orang yang menyayangiku dan aku pun menyayangi mereka.

Untuk hari ini sepertinya cukup Di. Aku mengantuk sekali. Emosi ini sungguh memakan banyak energi. Bye..bye..Di.

Sunday, July 12, 2009

Pertemuan (bag. 3)

... Dan tiba-tiba, dengan lembut Lenny menggenggam tanganku.....

"Tidak apa-apa. Aku mengerti perasaanmu. Kalau kamu belum siap menceritakan semuanya, lebih baik kita lanjutkan nanti saja," katanya sambil tetap menggenggam lembut tanganku. "Jangan kuatir, apa yang kita bicarakan hari ini aman bersamaku. Nah, sekarang lebih baik kita mengganti topik pembicaraan kita. Bagaimana dengan kabar....." sambung Lenny.

"Maafkan aku telah membuatmu merasa tidak nyaman dengan apa yang baru saja aku lakukan," ujarku sebelum Lenny menyelesaikan kalimatnya. Dan setelah itu kami berdua terdiam dalam keheningan yang dilatari lagu yang entah siapa penyanyinya dan apa judul lagunya. Kembali kuteguk sisa minuman yang ada dalam gelasku.

"Lagunya pas dengan perasaan dan nasibku saat ini. Menyedihkan," kataku memecah keheningan yang ada.

Sembari tersenyum Lenny berkata, "Setiap manusia mempunyai masa 'naik' dan 'turun'-nya. Karena itulah yang membuat hidup ini menjadi lebih berarti. Dan kamu tidak bisa terus-menerus diam di titik yang sama ketika kamu jatuh. Aku rasa, meski kita baru berkenalan beberapa jam, kamu bukan tipe wanita yang mudah menyerah." Lenny berhenti sejenak untuk menegak minuman yang ada didepannya. "Percayalah tidak hanya dirimu seorang yang mengalami hal yang sama. Meski apa yang kamu alami tidak seburuk yang dialami oleh wanita lain. Setiap orang mempunyai kesusahannya sendiri. Tapi hanya mereka yang berani melupakan dan memaafkan kesalahan orang lain, yang dapat sukses dan bahagia dalam hidupnya."

Aku termenung sesaat, memikirkan perkataan Lenny. Dan menurutku ada benarnya juga. Selama ini, meski sukses dalam hal pekerjaan, jujur saja, aku tidak merasa bahagia.

"Mungkin aku perlu mengambil liburan," kataku.

"Bisa saja. Anggap ini sebuah langkah awal. Siapa tahu saja ketika kamu kembali memasuki dunia pekerjaan, kamu bisa memaafkan dia yang telah menghambat dan mengusik pekerjaanmu," sahutnya dengan antusias.

Tittit...tittit...tittit...

"Permisi dulu ya," sahut Lenny setelah telefon genggamnya berdering.

Dan kembali sebuah lagu mengalun dengan indahnya. Seakan mendukung keputusan yang kuambil beberapa saat yang lalu.

"Maaf telah membuatmu menunggu. Sepertinya aku harus pergi sekarang. Ternyata aku masih ada janji di tempat lain," katanya sekembali dari luar tempat ini.

"Tidak apa-apa. Kebetulan juga aku sudah ingin pulang ke rumah. Sudah larut malam dan besok aku harus masuk kantor pagi-pagi untuk menyelesaikan pekerjaan yang ada, supaya aku bisa cepat-cepat pergi liburan," ujarku dengan penuh keyakinan dan semangat yang baru.

"Begitu lebih baik. Sepertinya kamu lebih baik senyum, mukamu kelihatan lebih cantik jadinya," ujarnya sambil tersenyum. "Biar aku yang bayar semuanya. Jangan lupa sesi kita hari Rabu mendatang. Dan aku rasa kali ini lebih baik kita ketemu di tempat praktekku. Oke?!"

"Aku rasa juga begitu. Terima kasih dr. Lenny buat waktunya. Sampai jumpa rabu mendatang," sahutku kepada Lenny. Bukan, dr. Lenny, psikiaterku selama tiga bulan ini.

Dan akupun beranjak dari tempat itu untuk kembali kedalam kehangatan yang telah menantiku di rumah. Di mana suami dan anak-anakku tercinta sedang menunggu dengan cinta kasih mereka. (Tamat)

Thursday, June 25, 2009

Pertemuan (bag. 2)

.... Entah seberapa merah wajahku saat ini.


"Senang berkenalan denganmu, Magie. Tapi, tidak apa-apa kan aku duduk di sini bersamamu?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.

"Tidak kok," jawabku singkat.

Selama beberapa detik kemudian, kami berdua terdiam membisu, menikmati minuman yang ada di depan kami sambil diiringi musik jazz yang dilantunkan oleh Norah Jones, salah satu penyanyi kesukaanku.

"Lagunya enak ya?" tanya Lenny mencoba memecahkan keheningan yang ada.

"Iya salah satu lagu kesukaanku," jawabku.

"Jadi kamu suka juga sama musik seperti ini. Sama dengan dirinya," sambungnya.

Dirinya? Kira-kira sapa ya? Penasaran juga, tapi aku rasa tidak sopan menanyakan persoalan pribadi seorang yang baru aku kenal beberapa menit yang lalu. Dan kusadari Lenny sedang memperhatikan raut mukaku dengan pandangan yang penuh selidik, yang mana hal itu baru kusadari ketika aku kembali dari segala lamunanku.

"Sori. Aku melamun lagi yach?"

"Tidak apa-apa. Malahan aku yang harus minta maaf kepadamu karena mengatakan sesuatu yang dapat membuatmu terbang ke dunia lamunan untuk yang kedua kalinya." Kali ini kami berdua tertawa lepas bersama.

"Sebenarnya, apa yang membuat wanita secantik dirimu, duduk minum sendirian di tempat yang dipenuhi pasangan ini?" ujarnya tiba-tiba dan langsung tanpa basa-basi.

Jujur saja aku terkejut dan tidak siap dengan pertanyaan seperti itu. Dan untuk beberapa saat mulutku diam membisu, sedangkan dalam otakku terjadi kejadian yang luar biasa yang mengingatkanku akan salah satu film anak-anak yang belum lama ini kusaksikan. Suatu adegan dimana dalam pikiran si tokoh utama, "diri-dirinya yang lain" sibuk mencari daftar kata-kata atau informasi yang harus diucapkan atau dilakukan, aku tidak terlalu mengingatnya. Itu secara fiksi. Secara nonfiksi, sel-sel otakku sedang mengirim sinyal ke segala penjuru otak untuk menemukan kalimat yang tepat yang dapat dijadikan alasan dan jawaban atas seorang pria yang selama beberapa menit ini menemaniku minum.

"Aku...aku hanya sedang ingin sendirian saja malam ini," ujarku diiringi dengan gerakan tanganku menggapai gelas minumanku yang kemudian kuteguk untuk menutupi segala kegelisahanku saat ini.

"Tetapi menurutku dan kelihatannya, kamu sedang banyak masalah yang harus ditanggung seorang diri. Apakah aku benar?" tanyanya segera setelah aku menjawab pertanyaan sebelumnya. "Kamu boleh menceritakan semuanya kepadaku. Jangan kuatir, aku tidak akan membocorkannya kepada siapapun," lanjutnya dengan lembut.

"Kalau aku harus menceritakan semuanya, sepertinya terlalu panjang. Nanti kamu bosan duluan," ujarku.

Sangat tidak mungkin bagiku untuk menceritakan masalahku kepada orang lain, meskipun pekerjaanya adalah seorang psikiater.

"Tidak apa-apa. Aku mempunyai banyak waktu malam ini. Jadi ceritakan saja semuanya kepadaku. Siapa tahu, meski tidak seberapa, aku bisa membantumu," katanya sembari berusaha meyakinkanku bahwa dirinya dapat dipercaya.

Mungkin, mungki aku cukup mabuk malam ini. Lagipula aku tidak mengenalnya begitu juga dengan orang-orang yang berada di tempat ini. Jadi, kenapa tidak aku menceritakan saja semuanya kepada pria yang duduk diseberangku ini. Siapa tahu beban dalam hati ini dapat berkurang sekilo.

"Sebenarnya kehidupanku selama ini hampir sempurna. Pekerjaan impian telah kuraih. Keadaan finansialku baik-baik saja bahkan melimpah. Aku mempunyai banyak teman dan sahabat-sahabat yang mencintaiku. Hanya saja beberapa minggu terakhir ini, mimpi buruk datang mengacaukan segala sesuatunya," ceritaku sembari melihat kearah sepasang anak muda yang sedang tersenyum bahagia di sudut lain tempat ini.

Dan pria yang duduk berhadapan denganku, Lenny, hanya mengangguk sambil melihat ke arahku. Benar-benar tipikal seorang psikiater.

"Mimpi burukku itu adalah mantanku. Yang dahulunya sangat kucintai tetapi sekarang sangat kubenci. Karena dia meninggalkanku demi harta dari seorang wanita, putri seorang pwngusaha kaya raya. Dan paling buruk, ternyata wanita yang telah menjadi isterinya itu adalah anak dari bos tempatku bekerja. Yang membuatnya secara otomatis, menjadi pimpinanku yang baru," aku berhenti sejenak untuk meneguk minuman yang ada di depanku. "Dan itu membuatku tidak bisa dan susah untuk berkonsentrasi dengan pekerjaanku. Bayangkan saja dia memberiku setumpuk pekerjaan yang sulit dan menghabiskan banyak waktuku untuk menyelesaikannya. Sehingga aku tidak punya waktu lagi untuk sahabat-sahabatku, untuk orangtuaku dan juga untuk diriku sendiri," sambungku.

Dan tanpa terasa mataku mulai penuh dengan air mata. Semua yang kurasakan selama beberapa minggu ini seakan menyeruak perlahan-lahan keluar dari dalam jiwaku. Sedih, marah, bosan, sakit hati dan perasaan lainnya yang tidak dapat kugambarkan dengan kata-kata melebur menjadi satu. Dan tiba-tiba, dengan lembut Lenny menggenggam tanganku.......(Bersambung)